Menekan emisi kendaraan listrik dengan teknologi ‘smart charging’ dan V2G, bagaimana hasilnya?

Environmentallca.my.id-

Penjualan kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) meningkat drastis, baik secara global maupun di Indonesia.

Pada 2023, sebanyak 14 juta unit atau setara dengan 18% kendaraan yang terjual di dunia adalah kendaraan listrik. Angka ini lebih tinggi 3,5 juta dibandingkan tahun sebelumnya, atau naik 35%.

Di Indonesia, penjualan kendaraan listrik mencapai lebih dari 23 ribu unit atau 4% dari total penjualan kendaraan sepanjang Januari-Agustus 2024. Penjualan ini lebih tinggi 177% persen dibandingkan jumlah penjualan tahun sebelumnya pada periode yang sama (8.310 unit).

Lonjakan pertumbuhan kendaraan listrik salah satunya dipicu oleh tren global yang mulai beralih dari kendaraan berbahan bakar fosil, di mana banyak negara menganggap kendaraan listrik sebagai salah satu alternatif yang lebih ramah lingkungan.

Secara umum, kendaraan listrik memang tidak menghasilkan emisi dari knalpot, sehingga dapat langsung mengurangi karbon dioksida (CO₂) dan polutan lainnya di udara. Namun, kendaraan listrik tidak sepenuhnya bebas dari masalah lingkungan, terutama jika infrastruktur pengisian baterai dan sumber energi yang mendukungnya belum ramah lingkungan. Isu ini menjadi perhatian serius bagi banyak aktivis lingkungan.

Selain itu, kendaraan listrik juga berpotensi meningkatkan emisi jika waktu pengisian baterainya tidak diatur dengan baik. Penelitian kami menunjukkan bahwa waktu pengisian sangat memengaruhi jumlah emisi yang dihasilkan.

Untuk itu, teknologi smart charging (pengisian pintar) dan Vehicle-to-Grid (V2G) amat kita perlukan sebagai solusi mengoptimalkan pengisian baterai. Harapannya, kita dapat mengurangi emisi terkait kendaraan listrik, meningkatkan penggunaan energi terbarukan, dan menekan biaya.

Bagaimana waktu pengisian EV mempengaruhi jumlah emisi?

Saya bersama tim peneliti di Monash University telah meneliti dampak penetrasi dan waktu pengisian kendaraan listrik terhadap emisi, energi terbarukan dan biaya. Kami membandingkan skenario jika setengah dari semua kendaraan yang ada adalah kendaraan listrik pada 2050 (50% EV pada 2050) dan skenario tanpa kendaraan listrik. Hasil utama penelitian kami menunjukkan bahwa:

  • Kenaikan permintaan listrik 11%-15%: Penetrasi 50% kendaraan listrik pada 2050 akan berdampak signifikan pada sistem kelistrikan. Permintaan listrik kemungkinan akan meningkat sebesar 11% hingga 15% dari total beban listrik.
  • Potensi peningkatan emisi: Peningkatan jumlah kendaraan listrik menyebabkan kenaikan emisi jika listrik yang digunakan untuk mengisi baterai kendaraan berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Kenaikan emisi juga terjadi jika waktu pengisian baterai tidak diatur dengan baik.
  • Waktu pengisian baterai sangat penting:
    Dampak penggunaan kendaraan listrik terhadap emisi dan penggunaan energi terbarukan sangat bergantung pada kapan baterai kendaraan diisi ulang.
Skenario metode pengisian baterai EV pada waktu pagi, siang, malam, dan optimal.

Kami melakukan simulasi pengisian baterai pada pagi, siang, dan malam hari, serta simulasi dengan pengisian optimal menggunakan sistem smart charging.

Penelitian menunjukkan bahwa pengisian daya pada malam atau dini hari berdampak paling buruk terhadap emisi.

Musababnya, pengisian kendaraan listrik pada malam atau dini hari meningkatkan permintaan listrik secara tiba-tiba. Ini memaksa pembangkit listrik—khususnya pembangkit berbahan bakar fosil seperti gas—untuk beroperasi guna memenuhi lonjakan permintaan tersebut. Akibatnya, emisi karbon meningkat karena pembangkit berbahan bakar fosil menghasilkan lebih banyak emisi.

Pengisian daya di siang hari lebih baik. Sebab, energi terbarukan, seperti tenaga surya, biasanya tersedia dalam jumlah besar pada waktu tersebut. Ini memungkinkan pengurangan penggunaan pembangkit berbahan bakar fosil sehingga menurunkan emisi.

Dalam hal ini, pengisian daya akan lebih optimal jika menggunakan teknologi smart charging yang memungkinkan pengisian kendaraan listrik diatur secara cerdas. Misalnya, pengisian menyesuaikan waktu yang sesuai dengan ketersediaan energi terbarukan.

Penelitian kami menunjukkan, pengisian daya dengan smart charging mampu meningkatkan penggunaan energi dari tenaga surya, mengurangi emisi hingga 12%, dan menghemat biaya 9% dibandingkan skenario tanpa kendaraan listrik (skenario saat semua kendaraan masih berbahan bakar fosil).

Optimalisasi pengisian baterai EV dengan teknologi V2G

Untuk lebih meningkatkan efisiensi pengisian baterai kendaraan listrik, kita dapat memanfaatkan teknologi Vehicle-to-Grid (V2G).

Dengan teknologi V2G, kendaraan listrik tidak hanya dapat mengisi daya secara langsung dari jaringan listrik (grid). Kendaraan listrik juga bisa mengirimkan setrum kembali ke grid ketika dibutuhkan.

Artinya, kendaraan listrik bisa berfungsi ganda: selain sebagai alat transportasi, mereka juga dapat berperan sebagai penyimpanan energi bergerak untuk menstabilkan jaringan listrik, terutama saat permintaan listrik tinggi.

Baterai litium-ion yang digunakan dalam kendaraan listrik menjadi komponen utama yang memungkinkan teknologi V2G berfungsi. Baterai lithium-ion kini sudah umum digunakan untuk menyimpan energi dalam skala besar.

Cara kerja teknologi V2G.
Sumber: Clean Energy Reviews.

Teknologi ini sangat relevan di Indonesia, mengingat jumlah stasiun pengisian kendaraan listrik masih sangat terbatas, yaitu sekitar 1.582 unit di seluruh Indonesia.

Angka ini sangat jauh jika dibandingkan dengan Cina yang sudah memiliki 9,92 juta stasiun. Ini artinya Cina memiliki 6.900 stasiun pengisian kendaran listrik untuk setiap 1 juta penduduk, sementara Indonesia hanya memiliki 5,7 unit per 1 juta penduduk.

Teknologi V2G telah diuji coba sebagai proyek percontohan di 27 negara, seperti Australia, Amerika Serikat, Inggris, China, dan Denmark. Sayangnya, sampai saat ini belum ada informasi mengenai penerapannya di Indonesia.

Simulasi kami menunjukkan bahwa, meskipun V2G membutuhkan biaya tambahan hingga US$50/megawatt jam (MWh), teknologi ini tetap lebih efisien daripada baterai penyimpanan konvensional. Sebab, kendaraan listrik bisa berfungsi ganda sebagai penyimpanan daya bergerak.

Penggunaan V2G bahkan bisa mengurangi kebutuhan energi penyimpanan stasioner hingga 84%, menurunkan emisi sebesar 27%, dan meningkatkan penetrasi energi terbarukan sebesar 10%.

Namun, kita masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk memahami kesiapan partisipasi konsumen di Indonesia dalam skema ini.

Penelitian awal menunjukkan bahwa pemilik kendaraan lebih menyukai skema pembayaran langsung atau pembayaran di muka ketika menyetujui kontrak jangka panjang dengan penyedia layanan V2G. Ini memperjelas pentingnya pendekatan insentif yang sesuai agar konsumen tertarik untuk berpartisipasi dalam skema ini di Indonesia.

Rekomendasi untuk masa depan

Penetrasi kendaraan listrik secara masif di masa depan membawa peluang sekaligus tantangan terhadap emisi dan penetrasi energi terbarukan. Jika tidak dikelola dengan baik, waktu pengisian yang tidak tepat bisa meningkatkan emisi.

Namun, jika pengisian diatur secara optimal, kendaraan listrik justru bisa menurunkan emisi, meningkatkan penggunaan energi terbarukan, serta menekan biaya operasional.

Untuk itu, Indonesia harus menggunakan energi terbarukan sebagai sumber daya utama untuk menghindari peningkatan emisi dari penggunaan energi fosil. Selain itu, kita juga perlu menambah jumlah stasiun pengisian kendaraan listrik minimal 1.000 per 1 juta penduduk pada 2050.

Pemerintah juga mesti memberikan kemudahan dan insentif pembelian untuk pembelian dan penggunaan kendaraan listrik serta melakukan proyek percontohan V2G di beberapa lokasi untuk melihat potensi dan tantangan teknologi ini di masa depan.

Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://theconversation.com/menekan-emisi-kendaraan-listrik-dengan-teknologi-smart-charging-dan-v2g-bagaimana-hasilnya-238782

Tinggalkan komentar