Environmentallca.my.id-
Universitas Indonesia (UI) secara resmi menangguhkan gelar doktor Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia pada 12 November 2024. Keputusan ini diambil setelah sidang promosi doktor Bahlil di Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI pada medio Oktober lalu memicu kontroversi luas, baik di dalam maupun luar kampus.
UI mengambil langkah ini berdasarkan hasil audit investigatif yang dilakukan oleh Senat Akademik dan Dewan Guru Besar. Audit tersebut mencakup berbagai aspek, termasuk persyaratan penerimaan, proses pembimbingan, publikasi, syarat kelulusan, dan pelaksanaan ujian. Nasib kelulusan Bahlil kini bergantung pada hasil sidang etik.
Dalam artikel ini, saya akan membahas salah satu isu yang menjadi sorotan utama, yaitu kualitas publikasi ilmiah sebagai syarat kelulusan—yang juga menjadi tolak ukur utama integritas akademis.
Kualitas publikasi ilmiah dapat dinilai salah satunya melalui peer review atau penilaian rekan sejawat, baik secara kualitatif dengan menilai substansi, metodologi, dan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan, maupun dengan pendekatan analisis teks/bahasa dan kajian sains kuantitatif.
Adapun analisis teks menilai relevansi topik, validitas metode, dan kualitas referensi, sedangkan kajian kuantitatif mengukur kualitas melalui sitasi.
Sesuai keilmuan yang saya miliki, saya melakukan penilaian dengan pendekatan analisis teks dan kajian sains kuantitatif terhadap salah satu karya ilmiah Bahlil yang diajukan sebagai prasyarat memperoleh gelar doktor. Berdasarkan penelahaan, saya menemukan berbagai kelemahan mendasar, mulai dari metode penelitian hingga kualitas referensi.
Awal mula kontroversi
Kontroversi bermula pada Agustus 2024, ketika Bahlil diduga menerbitkan artikel ilmiah di jurnal ‘predator’ sebagai syarat kelulusan. Bahlil menerbitkan dua artikel mengenai hilirisasi nikel di jurnal Kurdish Studies dan Migration Letter—dua jurnal yang statusnya sudah tidak terbit lagi di Scopus sejak 2022.
Publikasi di jurnal ‘predator’ sangat bermasalah karena tidak melalui proses peer review dan standar akademis yang memadai, sehingga kualitasnya pun dipertanyakan.
Menanggapi hal ini, pihak UI mengklarifikasi bahwa saat pengajuan tulisan, kedua jurnal tersebut masih terdaftar di Scopus. Bahlil kemudian diminta menerbitkan artikel baru di jurnal bereputasi untuk memenuhi syarat kelulusan doktoral.
Pada Oktober 2024, ko-promotor Bahlil menginformasikan bahwa pria yang menjabat sebagai ketua umum Partai Golkar itu sudah memenuhi syarat publikasi dengan:
Selain publikasi ini, disertasi Bahlil yang berjudul “Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia” mendapat kritik dari Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam. Koordinator Nasional Jatam, Melky Nahar, menyatakan bahwa mereka tidak pernah diwawancarai sebagai informan dan menduga adanya praktik perjokian dalam penyusunan disertasi tersebut.
UI menyatakan akan menelusuri laporan tersebut. Sebelumnya sempat juga muncul isu plagiarisme, namun hal ini dibantah oleh ko-promotor Bahlil.
Masa studi Bahlil adalah hal yang paling menjadi sorotan. Ia menyelesaikan program doktoral dalam waktu 1 tahun 8 bulan, jauh lebih cepat dibandingkan durasi rata-rata program S3, yaitu tiga tahun atau lebih.
Analisis kualitas publikasi
Sesuai latar belakang saya sebagai peneliti di bidang ilmu informasi, pemrosesan bahasa alami, dan kajian sains kuantitatif, saya menelaah artikel utama Bahlil yang diterbitkan di Journal of ASEAN Studies melalui dua pendekatan, yaitu analisis sitasi dan kajian sains kuantitatif. Berikut temuan utamanya:
1. Relevansi topik
Artikel utama Bahlil membahas hilirisasi nikel di Indonesia dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan transisi energi. Secara tematik, topik ini relevan dengan diskusi global mengenai energi bersih dan kebijakan industri berbasis sumber daya alam.
Dari total 91 referensi yang digunakan, 60,61% berasal dari lima tahun terakhir, menunjukkan upaya untuk mengikuti perkembangan isu terkini. Jadi, dari segi relevansi topik, karya ilmiah tersebut tidak ada masalah.
2. Validitas metode
Metode penelitian yang digunakan adalah integrative literature review, yaitu sebuah metode penilaian yang menggabungkan informasi dari berbagai sumber untuk menciptakan wawasan dan perspektif baru tentang suatu topik.
Namun, dari begitu banyak referensi yang ada, hanya tiga referensi yang dikutip untuk mendukung metode ini, dan dua di antaranya kurang relevan atau bahkan tidak sesuai dengan prosedur yang diuraikan dalam literatur asli.
-
Snyder (2019): Bahlil menggunakan literatur ini sebagai referensi untuk mendukung metode integrative literature review dalam penelitiannya. Metode tersebut dipakai untuk menganalisis hubungan antara teori negara pembangunan dan kebijakan hilirisasi nikel. Namun, setelah diteliti lebih lanjut, literatur asli yang dirujuk sebenarnya hanya membahas teori umum tentang metode review, bukan tentang aplikasi spesifik seperti yang dibahas Bahlil. Oleh karena itu, referensi ini hanya asal disebutkan saja, tanpa benar-benar digunakan atau relevan dengan isi penelitiannya.
-
Knopf (2006): Referensi ini memang relevan tetapi sudah terlalu lawas. Jurnal ini seharusnya bisa menggunakan referensi metode yang lebih baru, setidaknya yang terbit dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Kemutakhiran referensi merupakan salah satu indikator kualitas jurnal.
-
Torraco (2016): Teori ini sebenarnya relevan dan menekankan pentingnya transparansi data, tapi masalahnya implementasi dalam karya penulis (Bahlil) tidak sesuai. Penulis tidak memaparkan dengan jelas sumber, cara, dan kapan pengambilan data dilakukan. Selain itu, kutipan Bahlil dari Torraco terlihat keliru atau tertukar dengan referensi Knopf.
Jadi kesimpulannya, referensi yang digunakan Bahlil tidak cukup kuat atau relevan untuk mendukung metode penelitian yang diklaim, bahkan ada indikasi salah kutip. Hal ini menunjukkan kurangnya pemahaman dan ketelitian penulis dalam penerapan metode penelitian.
3. Kualitas referensi dan analisis sitasi
Kualitas referensi pada bab metode menjadi salah satu contoh kurangnya informasi tentang pemilihan literatur sehingga kredibilitas dan kualitas penelitian Bahlil secara keseluruhan cukup meragukan.
Jika menilik referensi di daftar pustaka yang totalnya ada 91 referensi, publikasi Bahlil sebagian besar merujuk situs web dan laporan online (50%). Referensi dari artikel jurnal hanya sedikit yaitu 24%. Jenis referensi lainnya adalah buku (16%) dan prosiding konferensi (10%).
Meskipun ada rujukan ke jurnal bereputasi internasional, dominasi laporan daring menunjukkan kurangnya literatur ilmiah sebagai landasan penelitian. Standar publikasi di jurnal bereputasi umumnya mengharuskan sebagian besar referensi berasal dari sumber yang kredibel seperti jurnal.
Pelajaran untuk dunia akademis
Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi mahasiswa dan akademisi bahwa kualitas dan integritas dalam penelitian doktoral bukan sekadar untuk memenuhi syarat administratif.
Kita bisa belajar dari berbagai universitas terkemuka di dunia, seperti MIT dan Stanford yang tidak mematok jumlah publikasi, tetapi fokus pada kualitas dan kontribusi signifikan penelitian terhadap ilmu pengetahuan.
Untuk itu, ada beberapa rekomendasi untuk memperbaiki kualitas dan integritas publikasi doktoral di Indonesia, meliputi:
1. Audit ketat: Universitas perlu melakukan audit kualitas publikasi sebelum sidang promosi, dengan melibatkan ahli independen dan penggunaan perangkat lunak pendeteksi plagiarisme atau jurnal ‘predator’. Hingga kini, banyak universitas yang belum memiliki standar audit publikasi, dan review umumnya hanya dilakukan oleh pembimbing sehingga rentan terjadi konflik kepentingan.
2. Penguatan regulasi: Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendiksaintek) perlu memperkuat regulasi standar publikasi doktoral dan menerapkan sanksi tegas atas pelanggaran. Saat ini, kementerian hanya memberikan rekomendasi jurnal yang memenuhi standar, tanpa ketentuan atau sanksi yang mengikat. Regulasi bersifat internal di setiap perguruan tinggi yang standarnya berbeda-beda dan belum ada yang mengontrol penerapannya.
3. Pengembangan kapasitas akademis: Mahasiswa doktoral harus dibekali pelatihan metodologi penelitian dan penguatan etika agar mampu menghasilkan penelitian berkualitas. Meski mata kuliah metodologi penelitian sudah wajib di semua jenjang, tampaknya hal ini belum cukup, terutama dalam penguatan etika dan integritas akademis. Dosen juga seharusnya menjadi teladan dalam hal ini.
Kasus Bahlil harus menjadi momentum bagi institusi pendidikan untuk mengevaluasi dan memperketat standar publikasi akademisnya. Terlebih, kasus ini terjadi di salah satu universitas terbaik di Indonesia sehingga berpotensi besar merusak kepercayaan masyarakat terhadap kualitas perguruan tinggi.
Saat ini, perhatian publik tertuju pada hasil sidang etik terkait gelar doktor Bahlil Lahadalia. Kita berharap Universitas Indonesia mengutamakan integritas dan prinsip keadilan, sehingga dapat memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perguruan tinggi sekaligus mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://theconversation.com/polemik-gelar-doktor-bahlil-kualitas-publikasi-dikorbankan-demi-lulus-cepat-243712