Environmentallca.my.id-
Prabowo-Gibran yang pencalonannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden memantik kontroversi telah bekerja sejak 20 Oktober 2024.
Untuk mengawal pemerintahan mereka, kami menerbitkan edisi khusus #PantauPrabowo yang memuat isu-isu penting hasil pemetaan kami bersama TCID Author Network. Edisi ini turut mengevaluasi 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, sekaligus menjadi bekal Prabowo-Gibran menjalankan tugasnya.
Pembentukan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Diktisaintek) oleh Presiden Prabowo Subianto membuka babak baru dalam pengelolaan ilmu pengetahuan di Indonesia, sekaligus menimbulkan pertanyaan mengenai nasib Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) setelah hadirnya struktur kementerian anyar ini.
Sejak 2021, pemerintah melebur seluruh lembaga riset—baik yang beroperasi secara independen maupun yang berada di bawah kementerian atau lembaga—ke dalam BRIN. Awalnya, BRIN menjadi satu kesatuan dengan Kementerian Riset dan Teknologi. Namun, Kementerian Riset dan Teknologi itu sendiri kemudian digabung ke dalam Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Pemerintah sedianya berharap peleburan ini akan mengintegrasikan seluruh lembaga riset, tetapi realitanya, upaya tersebut justru memperumit birokrasi dan mengurangi efektivitas inovasi dalam mendukung pembangunan.
Kita berharap pembentukan Kemendiktisaintek ini dapat merekonstruksi tata kelola kelembagaan ilmu pengetahuan di Indonesia menjadi lebih baik.
Pembagian peran Kemendiktisaintek dan BRIN
Dalam tata kelola sektor publik, pembentukan lembaga dengan tujuan lebih spesifik bisa diibaratkan seperti pemisahan jalur di jalan raya. Dengan membagi lajur antara kendaraan cepat dan lambat, perjalanan menjadi lebih lancar dan tertib. Demikian juga, pemisahan peran dalam kementerian membantu mencapai target kinerja yang lebih fokus dan efektif.
Dari perspektif yang lebih luas, pembentukan Kementerian Diktisaintek adalah langkah logis untuk mengatasi tugas dan fungsi yang sebelumnya terlalu banyak di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Meskipun, portofolio yang diemban oleh kementerian baru ini juga masih terlalu luas. Dengan fungsi saintek yang melekat ke dalam Kemendikti, kementerian ini harus menangani kebijakan pendidikan tinggi sekaligus pengembangan sains dan teknologi. Oleh karenanya, menjadi penting untuk Kementerian Diktisaintek mendapat dukungan sumber daya yang memadai.
Idealnya, Kementerian Diktisaintek berperan sebagai pembuat kebijakan dan menjalankan fungsi koordinasi yang menghubungkan pendidikan tinggi dengan pengembangan sains dan teknologi. Sementara BRIN dan perguruan tinggi, bisa bertindak sebagai pelaksana riset dan inovasi.
Kita bisa belajar dari Jerman dengan
Kementerian Federal Pendidikan dan Penelitian (BMBF) yang mengintegrasikan kebijakan pendidikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Strategi ini sukses menjadikan Jerman sebagai pusat riset dan pengembangan teknologi terdepan yang juga memberikan sumbangan besar terhadap perekonomian mereka.
Jika melihat dari perspektif politis, Prabowo sepertinya akan mempertahankan model birokratisasi riset seperti sekarang untuk menghindari kericuhan jika BRIN “dipecah” kembali menjadi lembaga-lembaga riset yang berbeda.
Namun, jika Prabowo benar-benar ingin serius membangun sumber daya manusia, ilmu pengetahuan, dan teknologi seperti yang tercantum dalam program kerja Astacita, perubahan seperti pengalihan fungsi kebijakan BRIN menjadi keniscayaan untuk memperbaiki tata kelola dan menguatkan kapasitas negara.
Prabowo memiliki sejumlah opsi. Misalnya, ia bisa belajar dari Australia yang memiliki Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO)–badan riset serupa BRIN–
yang berperan sebagai manajer riset dan inovasi nasional serta mengoperasikan infrastruktur riset.
Momentum memperkuat budaya penelitian
Selain perubahan struktur, hal lain yang tak kalah penting dari pembentukan Kemendiktisaintek adalah momentum memperkuat budaya penelitian.
Terminologi “sains” (science) dalam nomenklatur kementerian baru ini menegaskan pentingnya peran akademisi sebagai pendidik sekaligus ilmuwan (scientist) sebagaimana diamanahkan oleh Undang-Undang Guru dan Dosen.
Meski tridharma perguruan tinggi menuntut dosen untuk melakukan penelitian, kenyataannya prioritas utama para dosen saat ini masih berfokus pada pengajaran. Pekerjaan rumah kita adalah menggeser fokus perguruan tinggi pada penelitian.
Belum terbangunnya budaya penelitian yang baik menjadi salah satu penyebab pelanggaran akademis marak terjadi.
Oleh karena itu, Kementerian Diktisaintek perlu merancang program-program untuk meningkatkan minat pada sains dan kemampuan penelitian, terutama di kalangan generasi muda.
Pendidikan tinggi idealnya tidak hanya mengajarkan ilmu yang sudah ada, tetapi juga menantang mahasiswa dan dosen untuk menciptakan pengetahuan baru dan penemuan-penemuan di bidang sains dan teknologi.
Penguatan pendidikan tinggi, sains dan teknologi: visi atau ilusi?
Pembenahan tata kelola ilmu pengetahuan dan penguatan budaya penelitian melalui Kementerian Diktisaintek merupakan langkah penting. Meski demikian, dampak dari perubahan struktur ini mungkin tidak akan terlihat dalam waktu singkat. Transformasi membutuhkan waktu dan usaha berkelanjutan sebelum hasilnya benar-benar bisa dirasakan.
Tantangannya adalah memformulasikan indikator kesuksesan yang seimbang antara tuntutan politik dalam jangka waktu tertentu dan kebutuhan kebijakan yang mendukung pertumbuhan sains dan teknologi untuk jangka panjang.
Jika kebijakan pemerintah hanya mengikuti agenda politik jangka pendek, maka penelitian dan inovasi cenderung diarahkan pada tujuan pragmatis saja, seperti syarat untuk promosi akademik atau proyek yang terlihat sukses secara instan, tetapi tidak benar-benar memperkuat fondasi ilmu pengetahuan.
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://theconversation.com/menilik-nasib-brin-serta-babak-baru-pengembangan-sains-dan-riset-di-bawah-pimpinan-prabowo-gibran-241924